Penutup yang Manis di Banda Neira
Malam terakhir di Banda Neira. Halaman Istana Mini yang terkesan seram di malam hari nampak berbeda malam itu. Pada 27 Maret 2022 diadakan malam puncak kemah komunitas penggerak literasi. Lampu sorot mengarah ke teras depan istana, penampilan pertama dibuka oleh para narasumber dalam kegiatan ini, yaitu pembacaan puisi dari Theoresiarumthe, lalu duet berbalas puisi dari Rudi Fofid dan Mamat Alkatiri.
Mamat Alkatiri dan Rudi Fodid |
Setelah itu secara bergiliran para peserta menampilkan persembahan terbaiknya kepada masyarakat Banda Neira melalui kesenian puisi, tari, hingga teater. Penampilan dari peserta diawali dengan tarian Legenda Putri Cilu Bintang dan Tari Petik Pala.
--
Satu hari sebelumnya, 26 Maret 2022. Berjumpa dengan Jo dan Wahid di Benteng Belgica adalah sebuah ketidaksengajaan yang patut disyukuri. Perjalanan ini berbuah makna, salam takzim kepada para peserta kemah literasi yang telah menampilkan karya yang memukau. Juga kepada Opa Rudi, Kak Teo, Kak Weslly, dan Kak Mamat, meski belum sempat bertegur sapa saya merasa beruntung bisa hadir di malam itu :)
Semangat literasi di Maluku luar biasa, salam hormat kepada Kantor Bahasa Maluku yang telah menyelenggarakan kegiatan bermanfaat seperti ini. 39 komunitas yang terdiri dari 150 orang penggerak literasi di Maluku dihadirkan. Bukan main, pesertanya di seluruh penjuru Provinsi Maluku, ada yang dari Maluku Barat Daya, Seram Bagian Timur, Hingga Kepulauan Kei.
Perjalanan mereka diawali dari Ambon dengan menumpang kapal ferry ke Banda Neira. 10 jam perjalanan tidak hanya berdiam diri saja di kapal, melainkan sudah ada kegiatan menarik seperti saling berkenalan dengan komunitas satu dan yang lainnya. Ide bisa datang dari mana saja, momentum perjalanan panjang ini bisa menjadi sumber ide yang melimpah. Kelima panca indera bergerak cepat merekam aktivitas selama 10 jam perjalanan itu. Diterpa ombak, hujan mengguyur, melihat burung-burung terbang mencari ikan, dan beragam aktivitas penumpang di kabin, geladak depan, dan buritan kapal.
Saya yang tidak ada di dalam kapal tersebut dapat membayangkan betapa serunya interaksi para peserta dan narasumber, bertukar pikiran atau transfer knowledge. Antusiasme para peserta menunjukkan cerahnya literasi di Maluku ke depan, akan lahir sastrawan hebat dari kegiatan ini, semoga saja setelah ini muncul penerus Theoresiarumthe, Wesslly Johannes, Rudi Fofid, dan Mamat Alkatiri.
Setelah tiba di Maluku, Para peserta membangun tenda di halam depan istana mini dan bekas rumah gubernur VOC. Mereka akan tidur berkemah selama kegiatan ini, namun cuaca kurang bersahabat, hujan angin mengguyur sehingga mengharuskan berpindah ke dalam ruangan. Jujur saja kedua tempat itu cukup seram untuk ditinggali, apalagi banyak cerita horor yang beredar. Saya melihat salah satu peserta menulis di laman sosial medianya "Terima kasih kepada makhluk tak kasat mata yang telah mengizinkan kami berbagi rumah".
Selama empat hari mereka diajarkan materi menarik seperti proses menulis kreatif hingga bagaimana menjadi konten kreator. learning by doing, setelah narasumber mengampu materi, para peserta diminta untuk langsung membuat karya. 150 orang dibagi dalam kelompok yang lebih kecil yaitu kelompok cerpen dan puisi.
Menariknya adalah mereka bisa mencari inspirasi di tempat-tempat bersejarah di Banda Neira. Keindahan alam di sini juga menarik untuk dikemas dalam kalimat-kalimat puitis. Saya mendengar Lewerani, Andan, dan Belgica sebagai tempat yang paling banyak di sebut ketika pembacaan puisi pada malam puncak.
Lalu bagaimana ceritanya saya bisa berkenalan dengan beberapa peserta? Hari minggu saya bersepeda mengelilingi sebagian Pulau Neira, hanya kawasan Tanah Rata saja yang tidak didatangi karena letaknya di atas perbukitan. Jujur saja gak kuat membawa sepeda ke sana, apalagi dengan kondisi Gigi Sepeda yang kurang optimal saat dikendarai.
Ketika di Benteng Belgica, Jam buka masuk ke dalam tempat bersejarah itu baru pukul lima sore, sedangkan saya datang 30 menit lebih cepat. Saya pun berkenalan dengan dua orang peserta bernama Jo dan Wahid yang sedang duduk di halaman depan benteng, keduanya berasal dari Seram Bagian Timur , Maluku. Kami mengobrol banyak, beberapa informasi di dalam postingan ini saya dapatkan dari mereka, yang turut membawa saya mengikuti laman instagram Kantor Bahasa Maluku yang aktif sekali membuat post menarik.
"Besok malam akan ada acara puncak kak, kalau waktunya senggang bisa datang dan ajak teman-temannya datang ke Istana Mini", ajakan yang menarik dari Wahid, tetapi masalahnya saya solo traveling selama di Banda Neira, ini baru mau cari teman baru. Insyaalah saya akan hadir, daripada malam harinya gabut di hotel mending datang ke sana.
Tepat jam lima sore, mobil ranger berwarna hitam dan berplat merah tiba di benteng, rupanya petugas yang akan membuka kunci pagar benteng. Mobil merupakan pemandangan yang langka di Pulau ini, selama saya di Banda Neira baru melihat tiga mobil saja.
Di dalam benteng saya diajak Jo dan Wahid ikut bergabung dengan para peserta lain di sebuah menara yang menghadap ke Gunung Api Banda. Di sana ada Rudi Fofid salah satu narsum yang sedang membuat video pendek pesan kesan peserta selama kegiatan. Beliau lebih akrab disapa Opa Rudi, salah satu sastrawan terkenal di Maluku.
"Banda Neira dalam satu kata?" tanya opa Rudi kepada Kami, saya juga diminta ikut berpartisipasi meski bukan peserta kemah literasi. Satu kata yang dapat mempresentasikan kepulauan ini secara keseluruhan. Kata yang diucapkan tidak boleh sama, harus berbeda-beda tiap orang. Banda Neira itu Candu, Banda Neira itu Sejarah, Banda Neira itu indah, Banda Neira itu Pala, dan tibalah giliran saya yang mengatakan Banda Neira itu Kaya. Opa Rudi pun menutup dengan kata Banda Neira itu Beta.
--
Keesokan harinya setelah pulang dari Desa Lonthoir di Pulau Banda Besar saya bersiap-siap ke Istana Mini. Ada satu hal yang saya khawatirkan adalah nanti pulangnya bagaimana? jarak dari istana mini ke hotel Maulana hanya sekitar dua kilometer. Tapi ini bukan masalah jauhnya, dua kilometer tidak terlalu menguras tungkai kaki. Tapi pulangnya bakal larut malam dan suasana jalannya pasti sepi :D pikiran ini berkecamuk sampai saya berkenalan dengan Kak Jen dkk. Bermula dari saya yang mencari tempat duduk paling depan untuk leluasa memotret, lalu disamping saya ada kak jen dan rombongannya.
Dugaan saya benar mengira kak jen ini bukanlah warga lokal, Perempuan Minang yang kuliah di Universitas Riau lalu melanjutkan rantauannya ke Muara Enim (dekat kampung saya), lalu memutuskan untuk mengabdi pada bidang pendidikan di Banda Neira. Saya salut dengan Kak Jen, terlebih dia ke sini tidak ada keluarga sedarah dan tidak ada teman satu daerah.
"Nanti pulangnya kita barengan aja, saya tinggal di mess yang letaknya berdekatan dengan hotel tempat kamu menginap", wah wah akhirnya lega juga, gak jadi jurus seribu langkah saat balik :D. Kami pun menyimak kegiatan puncak kemah literasi bersama ratusan warga lain yang ada di Banda Neira. Saya teringat permintaan Jo ketika di benteng kemarin, minta difotokan saat dia pentas.
Tarian Legenda Putri Cilu Bintang |
Jo dan Wahid |
Tidak lama setelah Jo dan Wahid tampil, saya pulang kembali ke hotel sekitar tengah malam di saat acara belum menemui penampilan bungsunya. Terima kasih Banda Neira, malam terakhir di sana tidak menyangka bakal semenarik ini :) Semoga bisa bertemu lagi teman-teman di sana, salam takzim.
2 komentar
Maju terus literasi Indonesia
BalasHapusbesar harapannya kak
Hapus