Kembali ke Jogja yang Selalu Punya Cerita
Jogja selalu punya cerita, banyak alasan yang membuat banyak orang jatuh cinta dengan kota ini. Kota yang menawarkan kenyamanan dan kedamaian yang membangunkan karsa untuk terus berkarya. Jogja bisa menjadi tempat menyegarkan pikiran yang sedang terhimpit stres karena pekerjaan, percintaan, atau persoalan rumit lainnya.
Tempat duduk nampak penuh malam itu, hanya satu-dua celah kursi yang kosong. Bisa jadi karena penumpang yang mengurungkan niat berangkat, atau penumpang yang telat karena masih di perempatan Salemba saat pluit petugas ditiup (tanda keberangkatan kereta).
Stasiun Pasar Senen |
Penulis bersama kelima teman lain menggunakan kereta api Progo menuju jogja malam itu. Duduk di kursi kelas ekonomi, you know lah bagaimana posisi duduknya. Nyaman-nyaman saja sih karena sudah sering naik ekonomi sejak dulu, asal jangan bandingkan dengan reclining atau rotary seat seperti kelas bisnis dan eksekutif :D
Mata tidak bisa terlelap, tidur-tidur ayam sepanjang perjalanan yaitu ketika mata terpejam tapi masih bisa mendengarkan obrolan teman sebelah. Guyonan dan tawa terbahak membuat Kami mendapat somasi malam itu, kondektur datang lalu menjelaskan dengan sopan bahwa ada penumpang lain yang melapor karena terganggu :)
Pukul tujuh pagi, kereta berhenti sempurna di stasiun terakhir. Fisik yang kelelahan kadangkala membuat konsentrasi berkurang, Penulis kebingungan melihat kondisi stasiun yang nampak berbeda dibandingkan dengan dua tahun yang lalu saat terakhir kali ke Jogja. Setelah memperhatikan dengan lamat nampak tulisan Lempuyangan di dekat peron. Ya, kereta Progo rupanya tidak berhenti di Stasiun Tugu melainkan di Lempuyangan.
Stasiun Lempuyangan |
Tidak ada itinerary kali ini, semua serba fleksibel karena niatnya memang mau bersantai tanpa tergesa-gesa mendatangi destinasi. Untuk mempermudah mobilitas kami menyewa mobil selama dua hari, tujuan pertama langsung menjajal kuliner Soto Kadipiro yang terkenal lezat. Pengunjung lain sudah ramai berdatangan meski warungnya baru buka pukul delapan pagi.
belum buka udah ramai |
Setelah makan, kami beranjak menuju ke Edu Hostel di Jl. Letjen Suprapto No.17, Ngampilan. Lokasinya di mana tuh? penjelasan simpelnya tidak terlalu jauh dari kawasan Malioboro, paling sekitar dua kilo saja. Edu hostel menyediakan tipe dorm room dengan ranjang bertingkat. Karena check in baru bisa pukul 12, kami pun menunggu di ruang santai edu hostel yang agak luas. Di sana terdapat sofa panjang, karena kebetulan lagi sepi jadi kami gunakan untuk rebahan.
Tujuan Kami selanjutnya adalah menuju Gunung Kidul yang terkenal dengan keindahan pantainya. Ada banyak pantai yang menarik dan rekomen untuk didatangi, namun pilihan kami adalah Pantai Slili yang letaknya bersebelahan dengan Pantai Krakal. Hujan turun deras, jarak pandang memendek sehingga harus lebih konsentrasi menyetir mobil.
Kami memecah suara hujan dengan guyonan bagai gayung bersambut. Satu persatu mencoba mengeluarkan punchline terbaiknya. Penulis yang notabene seorang introvert mencoba menyumbangkan lawakan ringan nan garing "Krik-krik dan gaje"... Intinya sih bagaimana suasana di dalam mobil harus ramai, tidak boleh ada yang mengantuk.
Kami tiba di Pantai Slili sekitar jam 15.30 WIB dan langsung menuju Cafe De Slili yang baru dibuka awal tahun 2021. Menurut penulis pribadi, cafe ini worth it untuk tempat nongkrong rame-rame meski harganya agak costly. Banyak spot menarik untuk koleksi foto potrait seperti panorama pantai Slili yang diapit oleh tebing-tebing karang di kanan dan kirinya. Pemandangan pulau karang juga terlihat jelas dari cafe ini.
Langit perlahan berwarna keemasan di sebelah barat. Penulis berjalan menyusuri tepi pantai yang berpasir lembut, memotret satu-dua objek foto yang menarik. Pemandangan sunset yang mengagumkan di kala perjalanan itu bonus, melengkapi cerita-cerita yang hadir di setiap jejak kaki.
Kami kembali ke Kota Jogja selepas salat Maghrib. Malam minggu jalanan kota terlihat ramai, warung tongkrongan nyaris tidak ada yang sepi. Mungkin dari Kami berenam hanya Penulis yang belum tau mengenai Menoewa Cafe. Saat masuk, penulis setengah kaget melihat pengunjung yang memenuhi tempat duduk di kursi panjang maupun lesehan tikar. Mata Kami memencar mencari tempat duduk kosong yang sulit sekali didapatkan, harus mengantri dulu.
Apa yang membuat Menoewa Cafe begitu ramai didatangi? tidak hanya muda-mudi saja, rombongan keluarga juga ada. Duduk dan nongkrong di cafe ini bagai nonton konser sambil menghirup kopi dan jajanan ringan. Rupanya musisi yang sedang naik daun yaitu Tri Suaka sesekali tampil di cafe ini. Sayangnya malam itu ybs tidak hadir, namun kolega yang tampil juga tidak kalah merdu suaranya. Lembut seperti ubin masjid :)
Sulit untuk melupakan Jogja yang selalu punya cerita. *semua foto di artikel ini diambil menggunakan kamera handphone, untuk menulis blog perjalanan tidak mesti menggunakan kamera dslr atau mirrorless :)
- Gunung Kidul, 19 Februari 2022.
Bersambung di : pesona Malioboro yang tidak pernah pudar
0 komentar