Di tengah arus kemajuan teknologi, Suku Baduy Dalam masih mempertahankan kearifan lokalnya. Memegang erat tanpa goyah, meskipun tidak jauh dari tempat mereka tinggal menawarkan kehidupan modern yang serba canggih. Mereka tidak tertarik dengan bangunan berbahan semen dan beton, produk tekstil bermacam rupa, dan pembaharuan teknologi yang melesat cepat. Mereka memilih untuk menampik segala tawaran kemewahan itu, hidup bersahaja berdampingan dengan alam dan menjaganya tetap lestari.
Penulis tersenyum takzim, perjalanan yang melelahkan terbayar tuntas dengan apa yang telah didapatkan sepulang dari Baduy Dalam. Nilai-nilai prinsip kehidupan yang dipegang erat Suku Baduy adalah salah satu alasan mengapa mereka masih tetap eksis di tengah kemajuan zaman.
Ajakan dari Apri langsung penulis "iya" kan dua minggu yang lalu, teman dekat penulis ini mengajak ke Baduy, tempat yang memang masuk dalam bucket list Penulis. Sayangnya dua hari sebelum keberangkatan Apri mengabari kalau Ia tidak jadi ikut karena ada keluarga dari kampung datang, tak mengapa pikir Penulis karena sudah terbiasa juga jalan sendirian. Toh nantinya juga bakal bertemu dengan kenalan baru di jalan, bertukar cerita yang bisa di share satu sama lain.
Cara menuju Baduy
Untuk menuju Baduy, jaraknya tidak jauh dari Jakarta dan aksesnya juga tidak sulit. Penulis menggunakan KRL dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkas Bitung dengan waktu tempuh dua jam. Setelah tiba di Rangkas, Penulis sudah ditunggu Tour Guide yaitu Bang Agung dan Bang Indra, kali ini Penulis menggunakan jasa open trip (OT). Penulis tidak mau ribet mencari angkot/elf ke Ciboleger, lalu belum tau bagaimana mencari tempat menginap di Baduy Dalam. Harga paket open trip yaitu Rp 200.000 rupiah, sudah termasuk dua kali makan di Baduy Dalam serta transportasi ke Ciboleger.
Sebenarnya bisa kalau mau solo backpacker ke Baduy, dari Stasiun Rangkasbitung sobat harus mencari angkot tujuan terminal Aweh dulu. Lalu dari sana dilanjutkan naik mobil elf menuju Desa Ciboleger atau titik awal treking menuju Baduy Dalam. Landmark selamat datang di Ciboleger sangat terkenal di kalangan wisatawan. Menampilkan patung sebuah keluarga baduy yang lengkap dengan pakaian tradisional mereka.
Sebelum treking kami makan siang terlebih dahulu, karena tentunya membutuhkan asupan energi untuk turun naik bukit. Suku Baduy ada dua golongan yaitu Suku Baduy Luar dan Dalam, perbedaannya yaitu kehidupan Warga Baduy Dalam masih memegang erat aturan adatnya sedangkan Baduy Luar sebaliknya, kehidupan sosialnya telah terpengaruh zaman modern.
Dari Desa Ciboleger menuju Baduy Luar membutuhkan 1-2 jam perjalanan, tergantung kemampuan masing-masing individu. Kalau warga lokal pasti lebih cepat, bisa kurang dari satu jam saja. Dalam kelompok OT ini terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama hanya sampai Baduy Luar tepatnya di kampung Gajeboh saja. Lalu kelompok kedua menuju Baduy Dalam tepatnya di Kampung Cibeo, waktu trekingnya lebih lama bisa sampai empat jam jalan kaki :D.
Jika ditanya alasan memilih treking sampai Baduy Dalam, jawabannya adalah karena ingin tahu lebih dekat kehidupan warga Baduy Dalam. Di sana sangat dilarang mengambil foto, video, bahkan merekam suara di Baduy Dalam. Sudah "dilarang" pakai kata "sangat" lagi, sudah jelas kan aturannya. Foto-foto Kampung Baduy yang tersebar di internet dapat dipastikan diambil di Baduy Luar.
Penulis sebetulnya tidak terlalu siap untuk treking kali ini, karena sudah jarang sekali olahraga. Terakhir renang satu minggu sebelumnya, itupun hanya sebentar. Bagi sobat yang ingin treking Baduy Dalam disarankan olahraga kecil-kecilan ya, apalagi untuk yang benar-benar pemula (belum pernah treking).
Kenalkan, beliau adalah Pak Naldi dan anaknya Ardiman. host/ tuan rumah yang akan kami inapi di Baduy Dalam. Dari Beliau Penulis mendapat informasi tentang Suku Baduy, mulai dari Ikat Kepala yang mereka gunakan dengan sebutan "telekung", warna pakaian yang hanya putih dan hitam, dan kepercayaan Sunda Wiwitan yang mereka yakini.
Langkah kaki Pak Naldi layaknya berjalan tanpa beban di pundak, padahal sebaliknya dua buah tas milik peserta trip dibawakan olehnya. Pak Naldi dengan senang hati membawakannya, tentunya peserta yang menitipkan tas juga memberikan upah. Si gemes Ardiman, anak bungsu dari pak Naldi turut mengantar kami menuju rumahnya yang ada di Baduy Dalam. Raut muka polosnya terpancar, sambil membawa tas koja miliknya, juga sebilah golok kecil yang dipasang di pinggangnya.
"Pak, mau nanya. Ardiman sudah membawa golok kecil fungsinya untuk apa" tanya Penulis ke Pak Naldi. "Untuk tugas yang kecil seperti membelah-belah daun pisang saja" ujar Pak Naldi. Bahasa yang digunakan keseharian warga Baduy adalah Bahasa Sunda, tetapi banyak warga Baduy yang bisa menggunakan Bahasa Indonesia meski sedikit kikuk.
Foto-foto yang Penulis bagikan di blog ini diambil di Baduy Luar saja, karena setelah tiba di perbatasan Baduy Luar dan Dalam kamera dalam posisi dimatikan. Sebagai tamu yang sopan kita haruslah menghormati aturan tuan rumah, bijaklah dalam bertamu, toh Kita sudah disambut mereka dengan ramah. Tidak hanya menyoal tentang kamera saja, aturan di Baduy Dalam ada juga larangan memakai segala jenis sabun. Satu hari sebelum keberangkatan Penulis sudah diingatkan oleh tour guide.
Suasana Baduy Luar
Jumlah kampung yang ada di Baduy Luar lebih dari enam puluhan, Penulis tidak terlalu ingat jumlah yang disebutkan Pak Naldi, kisaran 60 an pokoknya. Kehidupan warga Baduy Luar sendiri sudah terpengaruh dengan lingkungan modern saat ini. Ciri yang Penulis lihat adalah bangunan rumah yang sudah menggunakan paku, pakaian warganya yang tidak hanya hitam putih, dan penggunaan Handphone. Kata Bang Indra, kaum muda Baduy Luar bahkan ada yang mengenal sosmed :D.
Rumah-rumah warga Baduy Luar mirip semua bentuknya, dindingnya terbuat dari anyaman rotan dan bambu. Atapnya terbuat dari ijuk yang dikeringkan. Daun Pintunya sudah nampak modern atau sama seperti daun pintu rumah pada umumnya. Beberapa perempuan Baduy Luar terlihat memakai perhiasan kalung emas.
"Warga Baduy Luar jika ingin ke Baduy Dalam juga dianggap sebagai tamu, mereka sama seperti kita bang. Tidak boleh menginap lebih dari satu malam." Ujar Indra, guide trip kami saat itu. Warga Baduy mayoritas berprofesi sebagai petani, di perjalanan banyak ditemui lumbung padi.
Penulis heran kenapa ada begitu banyak lumbung padi tetapi tidak ada sawah, rupanya warga Baduy menamai padi ini dengan "Huma" atau padi musiman sebagai pemenuhan pangan warganya. Warga Baduy Luar juga mempunyai keahlian dalam menenun kain, hasil kerajinan tangannya dijual dan dipajang di beberapa rumah. Harganya bervariasi sesuai ukuran kain.
Satu jam perjalanan Kami tiba di Kampung Gajeboh Baduy Luar, lalu Kami meniti anak tangga yang terbuat dari bambu dan diujung jembatan ada sebuah pohon besar yang berdaun rimbun. Kelompok trip pertama (hanya sampai baduy luar) berhenti di sini, lalu mereka menikmati waktu santai dengan bermain air di sungai yang berwarna kehijauan dan jernih.
Sementara Penulis beserta kelompok 2 melanjutkan perjalanan menuju Baduy Dalam. Oh iya, di desa Gajeboh ini masih diperbolehkan memotret foto atau video dengan HP dan Kamera karena perbatasan Baduy Luar dan Dalam masih jauh. "ini baru seperempatnya perjalanan bang" ujar Indra, kalimat yang membuat Penulis menghela nafas panjang.
Trek Naik Turun Bukit Menuju Baduy Dalam
Penulis pernah menjajal trek Bukit Penyesalan di Gunung Rinjani, terasa berat dan melelahkan sekali ditambah dengan suhu dingin yang melingkupi tubuh. Saat itu Penulis rutin lari dan renang satu bulan sebelum pendakian. Trek Baduy Dalam juga tidak kalah melelahkannya, mungkin karena faktor tidak pernah olahraga lagi sehingga membuat langkah kaki menjadi lebih berat. Beruntungnya cuaca saat treking ke Baduy Dalam sedang galau alias mendung, jadinya tidak terlalu panas dan membuat cairan di tubuh tidak terhidrasi dengan cepat.
Sepanjang jalan menuju Baduy Dalam banyak dijumpai pohon-pohon durian yang menjulang tinggi, lalu diselingi pohon mangga dan jengkol. Cuaca yang mendung dan rimbunnya pohon-pohon menjadi berkah tersendiri selama treking kali itu. Gemericik aliran sungai kecil mengiringi langkah Kami, suara tonggeret nyaring terdengar dengan nada khas dan iramanya yang berulang. Sering terlihat ayam peliharaan masyarakat Baduy yang dilepas begitu saja di kebun, mereka seolah sudah hafal jalan pulang yaitu pondokan milik warga, jadi tidak perlu dikurung dikandang.
Singkat cerita tibalah kami di sebuah jembatan yang terbuat dari bambu, ini merupakan batas antara Baduy Luar dan Dalam. Penulis memotret beberapa foto terlebih dahulu sebelum HP dan Kamera dimatikan. Saatnya "tanpa gadget" dan "tanpa listrik", ah teringat kejadian agustus 2019 yang lalu saat listrik padam melanda Jakarta berjam-jam. Masyarakat termasuk Penulis memenuhi pusat perbelanjaan dan rumah makan yang menggunakan UPS atau genset. Itu baru sebentar saja loh tanpa listrik, Mereka warga Baduy setiap harinya tanpa listrik :).
Menginap di Kampung Cibeo Baduy Dalam
Kami tiba di Kampung Cibeo pukul 17.42 WIB, mulai dari sini Penulis tidak memasukkan gambar apapun sampai pada akhir postingan. Mudah-mudahan cerita Penulis dapat menggambarkan pengalaman selama menginap di sana. Oh iya Penulis sempat iseng bertanya kepada Pak Naldi perkara gambar. "Pak, punten. Foto, Video, sama merekam suara kan gak boleh gimana kalau gambar/ngelukis pak? boleh gak" tanya penulis sopan.
Pak Naldi menjawab dengan bahasa "campur" (antara Sunda dan Indonesia). Penulis tidak terlalu paham namun bisa menangkap intinya yaitu "Gak boleh". Setelah dipikir-pikir kembali, kan hasil lukisan/gambar juga membangun efek dua dimensi sama seperti foto HP dan Kamera haha.
Terdapat tiga kampung di Baduy Dalam yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Penulis berkunjung ke Kampung Cibeo saja, pertanda tiba di Cibeo adalah melewati jembatan yang lagi-lagi terbuat dari bambu. Dibawahnya mengalir sungai yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat Cibeo sehari-hari.
Bentuk rumah warga Cibeo kalau dibandingkan dengan rumah di Baduy Luar mempunyai kemiripan. Terbuat dari kayu, anyaman bambu atau rotan, dan atapnya dari ijuk yang dikeringkan. Yang membedakannya adalah tidak ada sama sekali paku yang digunakan, jadi untuk menguatkan struktur rumah warga mengikatnya dengan anyaman dan menggunakan pasak sebagai penopang. Daun pintu yang digunakan juga sangat tradisional tidak menggunakan engsel.
Bang Indra mengajak Penulis untuk mandi di sungai, Penulis tentunya sangat mau karena badan sudah lengket dengan keringat. Untuk tamu laki-laki semuanya mandi di sungai, untuk tamu perempuan tersedia sebuah bilik air mancur sebagai tempat mandi. Karena segala jenis sabun tidak diperbolehkan jadinya mandi ala kadarnya, yang penting basah dan airnya segar :)
Pada malam hari suasana desa nampak gelap karena tidak ada listrik, Kegiatan diisi dengan makan malam dan bertanya-tanya tentang kehidupan di Suku Baduy, narasumbernya Pak Naldi tentunya. Kampung di Baduy Dalam mempunyai tetua adat yang dikenal dengan pu'un yang dibantu oleh wakilnya yaitu Jaro. Jika warga Baduy Dalam melanggar ketentuan adat hukumannya bisa sampai dikeluarkan dari Baduy Dalam. Cerai adalah salah satu hal yang tidak dibolehkan, sama seperti menikah dengan orang di luar Baduy Dalam.
Penulis menginap bersama sembilan tamu yang lain di rumah Pak Naldi, enam diantaranya perempuan. Untuk posisi tidur, meski di dalam satu rumah tetap dibuat terpisah antara laki-laki dan perempuan, ada jaraknya :) Suhu di malam hari cukup dingin, jadi disarankan membawa sarung, selimut, dan lebih dianjurkan membawa sleeping bag jika ada.
Keesokan harinya Penulis memilih tetap mandi meski suhu dingin, pengalaman mandi di Baduy Dalam sangat sayang untuk dilewatkan haha. Setelah sarapan pagi kami beranjak pulang menuju Ciboleger lagi. Kali ini dengan melewati rute yang berbeda, waktu tempuhnya lebih cepat akan tetapi treknya lebih terjal haha.
Sepertinya Penulis harus menarik kalimat tidak memasukkan foto lagi sampai di akhir postingan, karena Kami singgah di sebuah Danau yang ada di Baduy Luar sebelum tiba di Ciboleger. Penulis tidak terlalu tertarik untuk berenang, tetapi refleksi pohon yang memantul ke air membuat panorama yang menarik untuk difoto.
Penulis tiba di Ciboleger pukul satu siang, tak lama berselang hujan turun dengan derasnya. Wah syukurlah awan masih berkenan menahan hujan tidak tumpak selama treking, terima kasih Tuhan :)
2 komentar
Halo. Terima kasih untuk ulasan perjalanan di Baduy. :) Saya rencana ke Baduy minggu depan. Tapi belum punya kontak siapapun sebagai guide. Apa mungkin cari2 guidenya di Desa Ciboleger langsung?
BalasHapuskalau menginap sy sarankan ikut open trip saja. kemarin sy chat mas agung 081219616637. Dia sering ngadain open trip ke baduy dalam.
Hapus