Berteduh Dari Rintik Hujan di Pantai Anggopi Biak
Cerita ini merupakan kelanjutan dari postingan sebelumnya mengenai Telaga Biru Samares (baca : Telaga Biru Samares, Surga Kecil yang Menakjubkan).
Awan mendung bertabur di langit Biak siang itu. Piring berisikan lauk ikan laut ditemani dengan sambal serta tidak lupa nasi menjadi menu makan siang kala itu. Agak sulit menemukan warung makan di sini, harganya juga tidak terlalu mahal yaitu Rp 20.000. Setelah perut terisi, penulis dkk melanjutkan perjalanan menuju destinasi lainnya di Biak
Pantai Anggopi
Pantai Anggopi terletak di Distrik Oridek Kabupaten Biak Numfor, sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota. Selama perjalanan penulis melewati hutan yang masih terjaga kelestariannya. Jalanan di Biak sudah beraspal dan kondisinya baik.
Setelah tiba di kawasan pantai, penulis berjalan melewati pasir putih yang lembut. Terlihat anak-anak yang sedang bermain riang, berlari-larian dan bermain pasir pantai. Pantai ini menyajikan pemandangan yang membuat penulis tersenyum takzim, mengagumi keindahannya. Air laut yang jernih dan pantai yang masih terjaga kebersihannya.
Di pantai ini dijumpai beberapa pondok, tetapi biayanya cukup mahal yaitu Rp 50.000 hanya untuk duduk-duduk saja. Kami berjalan-jalan lagi sampai menemui sebuah pondok yang terlihat sudah rusak, beberapa bagian papannya sudah ada yang bolong.
Di pondok itu tidak ada yang menjaga, kami pun meletakkan tas dan langsung mengambil beberapa foto. Hal yang menarik lainnya adalah terdapat sebuah danau di dekat pantai ini. Terlihat satu keluarga sedang berenang di kolam yang berwarna hijau itu.
Selang beberapa menit kemudian, hujan tumpah dari langit. Membuat penulis bergegas kembali ke pondok untuk berteduh. Setelah hujan berhenti sekitar pukul satu siang, penulis beranjak kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke pantai berikutnya.
Pantai Wari
Pantai ini terletak di Biak Utara, perjalanan ditempuh dengan waktu kurang lebih dua jam dari Pantai Anggopi. Ketika sampai di pantai ini suasana sedang sepi, berasa seperti berada di pantai pribadi. Penulis menikmati keindahan pantai, duduk bersantai di gazebo sambil melepas lelah.
Meski berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik, ombak di pantai ini tidak terlalu besar, jadi cukup aman jika ingin bermain di sekitar pantai. Semilir angin yang berhembus membuat penulis tertarik berjalan-jalan menyusuri pantai.
Sekitar pukul empat sore, penulis dkk pulang kembali ke Kota Biak. Kami melepas malam dan menginap di Hotel Padaido, Pemandangannya langsung berhadapan dengan laut yang dangkal. Lokasinya berada di dekat dermaga kapal cepat dan kapal nelayan.
Monumen Perang Dunia ke II di Biak
Keesokan harinya penulis mengemasi barang ke dalam tas ransel. Penulis dkk pada hari minggunya akan pulang kembali ke Jakarta, tetapi sebelum itu Kami ingin berkunjung ke beberapa tempat wisata lainnya yang ada di Biak.
Lokasi pertama yang dikunjungi adalah Goa Jepang Biak, tetapi sayang saat itu cuaca lagi-lagi tidak bersahabat. Hujan lebat turun di Biak, Kami pun tidak bisa turun dari mobil untuk treking ke kawasan goa.
Baiklah karena hujan masih deras, Pak Rudolf mengajak kami menuju sebuah kawasan yang bersejarah lainnya yaitu Monumen Perang Dunia ke II. Pulau Biak memang menjadi salah satu saksi kedahsyatan perang asia pasifik. Di Pulau ini dapat dijumpai benda-benda peninggalan perang.
Bagian utama monumen berupa tembok yang dibuat melengkung, terdapat tulisan Monumen Perang Dunia ke II ditulis dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang. Monumen ini terletak di dekat laut Kampung Paray, Distrik Biak Kota. Dibangun untuk mengenang peristiwa bersejarah itu.
Sekitar pukul delapan waktu setempat, Penulis diajak mencari sarapan di jalan yang searah dengan bandara. Mobil berhenti di sebuah rumah warga yang di depannya menjual nasi kuning. Saat sarapan penulis mendengar lonceng gereja berbunyi, penulis melihat anak-anak yang berjalan menuju gereja. Mereka berpakaian rapi, lengkap dengan sebuah buku (seperti alkitab) yang mereka genggam.
Mayoritas penduduk di Biak beragama Nasrani, teman-teman perjalanan penulis kali ini juga beragama Nasrani semua. Meskipun begitu, latar agama bukanlah penghalang bagi penulis untuk berteman baik dengan mereka. Bukankah setiap agama mengajarkan tentang kedamaian dan kerukunan?
Sekitar pukul 11.30 WIT, pesawat berangkat ke Jakarta dengan transit terlebih dahulu di Makassar. Perjalanan selama dua hari satu malam di Biak pun selesai.
0 komentar