Setelah pada tulisan sebelumnya penulis menceritakan perjalanan selama di Sabang, pada tulisan kali ini akan di lanjutkan dengan cerita penulis ketika berada di Kota Banda Aceh. Cerita di Sabang dominan tentang wisata alamnya, berbeda dengan cerita ketika di Banda Aceh. Kami (Penulis, Faliq, dan Dicky) mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan peristiwa tsunami Aceh pada tahun 2004 yang lalu.
Pada pukul lima pagi, setelah menyantap hidangan sahur dan melaksanakan Salat Subuh di penginapan dekat pantai Iboih, Penulis bersama Faliq dan Dicky bergerak menuju Pelabuhan Balohan Sabang dengan sepeda motor. Penulis kembali menumpang kapal lambat menuju Pelabuhan Ulee Lheu dengan jadwal keberangkatan yang pertama yaitu pukul 7.30 WIB.
Setelah tiba di Pelabuhan Ulee Lheu pukul sepuluh pagi, penulis mengendarai sepeda motor menuju destinasi pertama yaitu Museum PLTD Apung.
Kapal PLTD Apung, Diseret Arus Tsunami Sejauh 2,4 KM
Kapal PLTD Apung menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya Tsunami Aceh pada tahun 2004. Kapal milik Perusahaan Listrik Negara ini mempunyai bobot 2600 ton. Saat peristiwa tsunami, kapal ini sedang bersandar di Pelabuhan Ulee Lheu. Lalu tsunami menyeret kapal ke tengah kota sejauh 2,4 KM dari pelabuhan.
Penulis termenung sejenak, bagaimana bisa kapal sebesar dan seberat ini terseret jauh dari tempat sandarnya. Namun begitulah kenyataannya, sungguh tiada daya jika Tuhan telah berkehendak. Di luar museum Kapal PLTD Apung, terdapat sebuah monumen yang berbentuk ukiran gelombang air dan jam penunjuk kapan terjadi peristiwa yang mengenaskan itu.
Penulis masuk ke bagian dalam kapal yang sudah dijadikan museum. Sudah tidak ada lagi peralatan kapal di sini, digantikan dengan pajangan foto-foto sisa-sisa bangunan atas kejadian tahun 2004 itu. Ada juga infografis dan videografis yang menjelaskan tentang tsunami. Penulis didampingi oleh seorang pemandu, beberapa anggota sanak keluarganya turut menjadi korban saat peristiwa tsunami.
Setelah dirasa cukup berkeliling di Museum Kapal PLTD Apung, penulis melanjutkan perjalanan menuju "Rumoh Aceh the Escape Hill" atau yang lebih dikenal dengan nama Museum Tsunami Aceh.
Museum Tsunami Aceh
Setelah memasuki pintu masuk museum, Penulis melewati lorong gelap, diiringi suara percikan air, suara gemuruh layaknya ombak besar, dan terdengar suara orang-orang yang menyebut asma Tuhan. Penulis berdebar pilu saat melewatinya, berada di lorong itu membawa pikiran penulis seolah berada di sebuah dimensi waktu Tsunami Aceh.
Selanjutnya penulis masuk ke dalam ruangan bernama sumur doa. Ruangan temaram yang berbentuk seperti kerucut yang menjulang ke atas. Pada dinding-dinding ruangan terdapat ukiran nama-nama korban tsunami. Terdapat tulisan lafaz "Allah" di atap ruangan. Penulis kembali tertegun, memikirkan bahwa semua makhluk tujuannya adalah kembali ke hadiratnya. Al-fatihah untuk semua korban Tsunami Aceh.
Menuju ke lantai dua museum, penulis melewati bagian jantung bangunan berupa jalan menanjak ke atas. Tulisan kata "damai" menggantung di bagian atapnya. Terdapat bendera negara-negara yang turut memberikan bela sungkawa pada peristiwa tsunami kala itu.
Penulis menonton video dokumentasi tsunami aceh di sebuah ruangan layaknya bioskop. Video berdurasi singkat itu berisikan rekaman arus air yang meluluhlantakkan Aceh, bangunan yang porak poranda, dan masyarakat yang berada di kamp pengungsian. Sungguh, video itu membuat penulis hanyut merasakan kesedihan.
Lalu penulis memasuki ruangan infografis tentang tsunami dan membaca kisah dua orang anak kecil yaitu Martunis dan Delisa. Mungkin beberapa sobat sudah tau kisah mereka berdua. Penulis memasuki lantai tiga museum yang berisikan diorama Tsunami Aceh dan simpanan benda-benda peninggalan Tsunami Aceh seperti perabotan rumah tangga, sepeda, Al-quran, dan lain-lain.
Setelah kurang lebih dua jam berada di museum ini, jarum jam tak terasa sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Penulis memutuskan untuk kembali ke parkiran lalu memacu sepeda motor menuju Masjid Raya Baiturrahman.
Masjid Raya Baiturrahman
Masih ada satu destinasi wajib di itinerary yang harus penulis kunjungi, Masjid Raya Baiturrahman. Pada peristiwa tsunami tahun 2004 yang lalu, masjid ini digunakan oleh penduduk sebagai tempat berlindung dan atas kuasa Allah menjadi salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh saat itu.
Masjid Raya Baiturrahman menjadi sebuah simbol cahaya aceh yang kembali terang. Masjid ini berbalut warna putih pada dinding dan warna hitam pada kubahnya. Di bagian luar masjid, terdapat serambi yang cukup luas dengan dilengkapi payung-payung sebagai tempat berteduh saat panas matahari yang menyengat.
Penulis masuk ke dalam masjid, pilar-pilar menopang kokoh berdirinya masjid ini. Suasana damai menyelimuti ketika banyak jamaah yang memanfaatkan waktu terbaik untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik di Bulan Ramadan.
Pukul 15.00 WIB, Kami menghubungi pemilik motor untuk mengambil motor yang telah kami sewa. Lalu Kami memesan taksi online menuju ke bandara Sultan Iskandar Muda Aceh. Kali ini penulis kembali ke Jakarta dengan menumpangi maskapai Lion Air menuju Kota Medan terlebih dahulu. Lalu transit berpindah pesawat Sriwijaya Air ketika pulang ke Jakarta.
Sekian tulisan penulis tentang perjalanan di Kota Banda Aceh, terima kasih kepada pembaca yang telah menyimak postingan blog penulis saat perjalanan Bus Sempati Star, Saat perjalanan di Sabang, dan Saat berada di Banda Aceh. Semoga bermanfaat :).
0 komentar